Mama Eyang Rende” Dimasa Hidupnya Yang Sederhana.

Senzangwarna.com- WAthfal Al Ustadz, Al – Aalim, Al-Adiib, Azzaahid, Al-Mutaawadli, Al-Haliim, Al-Mujahid fi Sabilillah, KH .R Ahmad Zakariya bin KH.R,A’rif masih keturunan dari Eyang Dalem Mahmud Syeh Abdul Manaf- Bandung. Berikut Perjalanan hidupnya.

Beliau seorang Penjual aci dari usia remaja, sampai 30 tahun.
Pada usia 30 tahun beliau terjatuh dari sepedah, dengan nada marah setiap hari, siang malam badan ini terasa sakit, repot terus sebagai penjual aci”! (Sagu) dalam sebuah ucapannya.

Semenjak jatuh dari sepedah beliau lantas berpikir, daripada sakit terjatuh lebih baik mengaji saja,mencari ilmu agama,lantas beliau pun membuang aci julannya.Beliau mendatangi Mama Eyang Prabu yakni Eyang Marzuki Bin Ta,Zimmuddin Bin Zaibal A’rif Eyang Agung Mahmud).

Dalam sebuah cerita, mendatangi Eyang Prabu justru bukan malah di suruh mengaji yang ia harapkan, justu malah dikasih kemenyan/luban dan disuruh berzikir di depan makam Mama Eyang Ibrahim di Cipatak.

Beliau membakar kemenyan tadi di Makam Mama Eyang Ibrahim sambil berzikir dengan Khusuk,
Sontak berapa saat beliau di datangi oleh Seekor macan kumbang,sambil menjilati dan menggodanya.

Dengan kesal Beliau menghadapi macan tersebut dan perkelahian pun tidak bisa di hindari,dan akhirnya kalah tidak sadarkan diri.

Saat tersadarkan diri akhirnya beliau pulang dari Cipatik ke Cigonewah untuk mendatangi Mama Eyang Prabu lagi, dan akhirnya oleh Mama Eyang Parabu disuruh mandi dari 7 mata air pancuran akibat terluka.

Eyang Rende bukan tidak selalu di uji oleh hal- hal seperti binatang yang menginggapi badannya ketika mandi, beliau balik lagi ke Eyang prabu dan pergi kagi ke makam Eyang Ibrahim Cipatik,dan melanjutkan Zikirnya yang sempat terganngu oleh seekor Macan Kumbang, kini semua yang mengganngunya bisa dilewati termasuk macan kumbang yang pernah mengganggunya.

See. https://toko.social/shop/sewarna

Dalam Zikirnya beliau mendapatkan bisikan,dari mama Eyang Cipatik agar belajar mengajinya di Cibaduyut. (Muhammad Zarkasyih, Eyang Cibaduyut)
Beliau pun pergih Bersama mama Eyang Prabu yang justru lebih mengetahuinya. tentang bisikan itu.
Sehingga Eyang Cibaduyut menuruhnya untuk bermujadah yaitu:

Bersholawat, Melanggengkan Wudhu, melanggengkan Puasa, menyedikitkan tidur, dan lebih banyak berzikir.
Mama Eyang Rende dikenal sangat sederhana, karena semasa hidupnya sang Kiyai sudah terbiasa hidup keras.

Beliau kerap memakai pakaian yang tak layak pakai (compang-camping) hingga dianggap orang tak berilmu. Padahal Kiayi bergelar wali ini sangatlah cerdas karena memiliki keistimewaan (karomah) yang dianugerahkan Allah kepadanya.

Petilasan makam sang Wali terdapat di Kampung Rende RT 01/02 Desa Rende, Kecamatan Cikalongwetan, Kabupaten Bandung Barat.

Beliau meninggal pada tahun 1939 sekitar 72 tahun lalu di usia sekitar 97 tahun.

Kompleks pemakaman beliau berdekatan dengan rumah beliau yang ditempatinya semasa hidupnya di Kampung Rende.

http://mathewfurniture.blogspot.com

Haji Dede Muhammad Sirojuddin generasi ke tiga dari Mama Rende menuturkan bahwa sang wali merupakan keturunan Ki Dalem Bandung salah satunya Eyang Dalem Mahmud Syekh Abdul Manaf.

Anak kedua dari pasangan Nyimas Abnol dan Mbah Rasipan KH R Arif, ini memiliki kakak laki-laki satu-satunya yakni Muhammad Syamsudin.

Pada jaman dulu Mama Rende tinggal di daerah Cigondewah sekarang Kota Bandung bersama keluarganya.

Di masa kecilnya Mama Rende hidup sangat sederhana karena, sejak kecil dirinya sudah ditinggalkan sang ayah dan sang kakak sehingga dirinya menjadi yatim dan hanya tinggal bersama sang ibu.

Sejak remaja Mama harus berjuang menghidupi dirinya dan sang ibu Nyimas Abnol dengan berprofesi sebagai tukang aci (tepung tapioka) melanjutkan usaha sang ibu hingga dewasa.

Usaha yang dilakukannya sejak remaja hingga dewasa tersebut tidak kunjung menguntungkan, dirinya kerap mendapat kerugian dalam usaha.

Di usia ke 35 tahun Mama mulai berkeinginan belajar agama Islam. Setelah mendapat petunjuk dari Mama Eyang Prabu Marzuki bin Tazimmuddin bin Zainal A’rif (Eyang Agung Mahmud).”Mama disuruh mengaji untuk pertama kalinya oleh Eyang Prabu Marzuki.

Dan akhirnya beliau belajar mengaji dari Mama Cibaduyut setelah mendapat perintah dari Mama Eyang Ibrahim Cipatik almarhum,” tutur Dede di kediamannya, Selasa (20/06).

Singkat cerita beliau belajar mengaji kepada Muhammad Zarkasyi atau Mama Eyang Cibaduyut, beliau belajar dan membaca semua kitab-kitab yang ada di pesantren.

Beliau tidak pernah mampu membeli kitab karena beliau tidak memiliki uang untuk membelinya, namun karena keistimewaannya beliau mampu mengahafal semua kitabnya.”Semua mazhab (mazhab Syafii, Maliki, Hambali, dan Hanafi) beliau pelajari dan semua mazhab beliau amalkan semuanya. Beliau fasih dalam berbahasa arab dan menghafal semua kitabnya,” katanya.Seusai pesantren di Mama Cibaduyut, Mama Rende kemudian bermukim di Cibabat Cikalongwetan untuk menyebarkan syiar Islam dan mengamalkan ilmu yang telah dimilikinya, di pesantren Mama Ajengan Sepuh Cibabat dengan bergelar Ajengan Anom Cibabat.

Sebelumnya beliau juga menikahi Umi Siti Syadiah dan dikarunia enam orang anak, lima orang anak perempuan dan seorang anak laki-laki.

“Di Cibabat banyak para ulama dan Kiyai yang mengaji kepada beliau dari mana-mana, hingga muridnya tersebar di Jawa Barat dan seluruh Indonesia,” katanya.
Tidak hanya mengaji atau pesantren di Mama Cibaduyut saja, Mama Rende yang memiliki rasa akan keingintahuan yang tinggi ini juga berangkat mengaji ilmu agama ke Mekah Arab Saudi sekaligus menunaikan ibadah haji.

Tidak hanya menuntut ilmu beliau pun terlibat peperangan di negeri Arab sana bahkan beliau mampu mengalahkan ratusan prajurit hingga beliaupun semakin disegani dan dihormati, di tanah Arab serta harum namanya, sebagai ulama dari tanah Jawa.

“Setelah menuntut ilmu di Arab 10 tahun lebih, beliau kembali ke Jawa untuk kembali meleksanakan syiar islam dan menyebarkan ilmunya di daerah Cikalongwetan dan menetap di Kampung Rende sampai beliau wafat di sini,” tuturnya.Sesampainya di Rende Mama menikah kembali dengan Umi Uhe dan dikaruniai seorang anak.

Kini ratusan orang dari seluruh Indonesia kerap datang ke Rende untuk mendoakan beliau dengan berziarah ke makam Eyang Mama Rende terlebih di bulan Rajab dan Maulid.Makam beliau dilindungi pagar baja yang mengelilinginya serta dilindungi dengan bangunan permanen yang dibangun pada tahun 2004.

Kemudian dibangun kembali majelis khusus jemaah yang ingin berziarah pada tahun 2011.
Selain makam dan rumah beliau (yang sudah direnovasi) satu-satunya peninggalan yang sangat unik adalah bedug yang berusia sekitar 80-90 tahun. Bedug ini terbuat dari kayu gelondongan berdiameter 60-70 cm dan panjang 190 cm, terbuat dari Kayu Puspa yang sangat kuat tidak mudah keropos sama sekali.

Sementara kulit sapi terpasang apik dengan menggunakan pancuh bambu sehingga terkesan klasik. Meski sudah diganti puluhan kali (kulit) bedug peninggalan Mama Rende ini tetap menyimpan kisah dan menjadi salah satu bukti sejarah.

Karomah Mama Rende
Ketika bermain dengan anak-anak beliau cukup meletakan rumput di rel kerera, maka kereta itu akan terhenti.

Editor dan Penulis Niko.

Sumber dari Tribun Jabar dan Ulamalangit.blogspot.com

Views: 118