Banjir Menjadi Sebuah Tolak Ukur,Terhadap Lingkungan Dan infrastruktur

SenzangWarna.com

Banjir yang memporak porandakan wilayah Bandung Barat,Selasa 31/12/2019 menjadikan kisah pilu yang dangat mendalam,banyak warga Masyarakat yang menempati barak-barak pengungsian,akibat rumahnya terkena banjir yang hampir menenggelamkan sebagian rumahnya.

Bukan hanya korban manusia saja,tetapi harta benda yang mereka milikipun menjadi imbas akibat banjir”yang menimpah pemukiman yang selama ini mereka tempati.

Hujan yang terus menerus menjadikan luapan sungai kecil,
tidak bisa menampung derasnya aliran air.

Empat bulan diterpa kekeringan dan banyaknya sektor pembangunan yang tidak memperhatikan lingkungan dan area pemukiman warga Masyarakat,menjadi penyebab datangnya banjir yang secara tiba-tiba.

Aliran sungai dangkal,sampah yang kadang kita anggap ringan,ternyata ini adalah sebuah sumber penghambat aliran air.

Tidak semua ini di jadikan alasan terjadinya banjir,Faktor alam yang sudah mulai marah,penebangan hutan,Pembangunan perumahan yang tidak memperhatikan lingkungan,jalan yang banyak terbungkus beton,menjadikan pemicu terjadinya banjir.
Diliput dari beberapa sumber

Baca Juga:

Kampung Ciloa dan Desa Mekarsari Kecamatan Ngamprah Cimaremah,Desa Cipeundeuy,dan wilayah lainnya di Bandung Barat.terkena banjir yang sangat hebat.

Masyarakat banyak yang tidak mengira bahwa banjir besar datang menghampiri mereka secara tiba-tiba,bukan tidak pernah banjir berberapa Tahun ke belakang,namun banjir yang sangat parah adalah awal tahun baru 2020 ini.

Semoga ini menjadi sebuah renungan untuk kita semua,agar tidak mengkambing hitamkan hujan,dan infrastruktur saja,ada hal-lain yang lebih penting,yaitu kesadaran,bahwa kita harus menjaga alam ini, dengan cara merawatnya bukan hanya kita memanfaatkan.

Berikut negara yang juga terkena banjir tapi bisa bangkit.dan menjadi sebuah negara yang perlu kita contoh:

Belanda

Belanda adalah Koninkrijk der Nederlande yang berarti negeri berdaratan rendah.

Itu karena sekitar 60 persen dari negara ini terletak di bawah permukaan laut.

Permukaan tertinggi terdapat di Vaalsberg dengan ketinggian 321 mdpl (meter di atas permukaan laut).

Sedangkan permukaan terendah ialah Nieuwerker aan den IJssel yang berada 6,76 meter di bawah permukaan laut.

Selain itu, sebagian wilayah Belanda yang sangat datar, akan memperlambat aliran air ke laut.

Kondisi tak menguntungkan ini dapat mengancam Belanda ketika musim penghujan tiba. Ini terbukti ketika banjir besar yang terus menghantam Belanda.

Sehingga pada 1920, dimulailah pembangunan bendungan yang dinamakan Afsluitdijk.Banjir masih terjadi seperti pada 1953.

Banjir ini menyebabkan sebagian besar wilayah Belanda terendam banjir dan setidaknya 1.800 orang tenggelam.

Belanda pun kembali membangun bendungan Oosterschelde yang merupakan bendungan canggih sepanjang 9 km dan memiliki pintu air yang bisa menutup jika air pasang dan banjir datang.

Sistem Polder juga digunakan Pemerintah Belanda untuk menghadang banjir serta mengontrol ketinggian air.

Polder merupakan sebidang tanah yang rendah, dikelilingi oleh tanggul yang membentuk semacam kesatuan hidrologis buatan.

Ini artinya tak ada kontak dengan air dari daerah luar, selain yang di alirkan melalui perangkat manual ke tempat tersebut.

Air buangan seperti air hujan di kumpulkan ke area Polder ini, dan di pompa ke sungai atau kanal yang langsung bermuara ke laut.

Polder merupakan sistem tata air tertutup dengan meliputi berbagai elemen seperti tanggul, pompa, saluran air, kolam retensi, pengaturan lahan dan instalasi air kotor terpisah.

Terdapat beberapa tipe Polder jika didasarkan pada asalnya dan bentuknya.

Ada Polder yang merupakan dataran rendah yang dikelilingi oleh tanggul dan searah sungai.

Selain itu ada Polder hasil reklamasi sebuah daerah rawa, air payau dan tanah basah.

Ada juga Polder akibat pembendungan pada muara sungai.

Sesungguhnya sistem ini sudah dikembangkan Belanda pada abad ke-11, dengan adanya dewan yang bertugas menjaga ketinggian air dan menanggulangi banjir (waterschappen).

Sistem ini disempurnakan pada abad ke-13 dengan menggunakan kincir angin untuk memompa air keluar dari daerah yang berada di bawah permukaan air laut.

Berdasarkan laporan Pemerintah Belanda yang berjudul Water Management in the Netherlands, pemerintah Belanda juga membangun tanggul-tanggul raksasa (Dijken) bagi daerah-daerah yang tidak memiliki Polder, agar terhindar dari gelombang pasang-surut laut.

Dijken juga melindungi daerah rendah yang menjadi muara dari dua sungai besar Eropa yakni sungai Rijn dan sungai Maas.
Tanggul ini terdapat di pinggir pantai provinsi Zeeland, Noord Holland, Frisland dan Groningen.

Pemerintah Belanda juga membangun sungai dan kanal buatan.

Ini sengaja dibangun untuk memudahkan hubungan dari satu sungai ke sungai lainnya melalui kota-kota tertentu.

Itulah kenapa transportasi air pun menjadi modal utama di negara ini yang juga membantu perekonomian setempat.

Sungai-sungai ini bisa menghubungkan Belanda dengan Jerman dan negara-negara di belakangnya melalui sungai Rijn.

Sedangkan sungai Maas dapat menghubungkan Belanda dengan Belgia dan Perancis.

Pemerintah Belanda sangat serius dalam mengatasi ancaman banjir dan gelombang laut.

Ini terlihat dari pembentukan dewan khusus yakni Rijkswaterstaat yang bertanggung jawab terhadap pembangunan, inovasi dan lainnya yang berhubungan dengan pencegahan banjir dan pengelolaan air di Belanda.

Berdasarkan data dari Rijkswaterstaat, pemerintah Belanda konsisten mengucurkan $2,8 miliar untuk proyek sungainya.

Alih-alih memerangi air, belanda malah memanfaatkannya untuk pembangunan negaranya.

Pengelolaan air yang baik melalui sungai, bendungan, dam, kanal dan tanggul membuat sekitar empat juta penduduk Belanda terjauh dari ancaman banjir.

Belanda sudah membuktikan jika bencana alam seperti banjir dapat di hindari.

Namun secara konsisten perlu dilakukan berbagai inovasi tambahan.

Cina

Tahun 1931 sebagai salah satu banjir terbesar yang pernah terjadi di dunia. Korbannya mencapai 3,7 juta jiwa.

Selain itu ada juga banjir Sungai Kuning (Huang He) pada tahun 1887 di Cina yang menyebabkan korban meninggal hingga 2 juta jiwa.

Banyak hal yang dapat memicu terjadinya banjir.
Bisa karena faktor alam atau ulah tangan jahil manusia yang tak menjaga lingkungan.

Apapun itu, berdasarkan laporan dari Badan PBB untuk Pengurangan Risiko Bencana (UNISDR) mengungkapkan jika antara tahun sejak tahun 1995 hingga 2015, banjir telah menyebabkan 157 ribu orang meninggal.

Selain itu, dalam dalam laporan yang berjudul The Human Cost of Weather Related Disaster tersebut juga mengungkapkan dalam kurung waktu 20 tahun ini banjir berdampak pada 2,3 miliar orang.

Jumlah ini menyumbang sekitar 56 persen dari semua orang yang yang terkena dampak dari bencana yang terjadi di dunia.

Korea Utara

Daerah yang paling parah dilanda banjir adalah di Musan dan Yonsa yang terletak di provinsi timur laut Hamgyong Utara.

Tak hanya Rumah yang porak poranda, lahan pertanian pun hancur.
Tim dari Palang Merah Internasional (ICRC) yang dikerahkan untuk memberi bantuan kemanusiaan menyebutkan jika tak semua wilayah bencana dapat dijangkau.

Banjir yang datang, menghancurkan segala sesuatu yang dilewatinya.

Bencana ini menyebabkan sekitar 140 ribu penduduk Korea kini bergantung pada bantuan dari pihak luar.

Sedangkan PBB telah mengalokasikan dana sebesar $8 juta untuk negara yang paling dikucilkan oleh dunia itu.

Tingginya pembalakan hutan untuk bahan bakar dan pertanian membuat negara ini rentan tertimpa bencana alam, khususnya banjir.

Tak hanya Korea Utara, Ibukota Negara Indonesia juga merupakan kota yang sering dilanda banjir.

Ketika hujan mengguyur Jakarta, tak perlu waktu lama untuk membuat genangan air setinggi lutut orang dewasa bahkan lebih.

Itulah negara yang juga pernah mengalami kebanjiran.

Semoga kita semua menjadi sadar bahwa banjir pasti akan terjadi, apabila kita tidak mempunyai kesadaran,Dengan alam dan lingkungan

Dikutif dari berbagai Sumber

Tirto.id

Editor Niko

Hallo Mathew..?http://mathewfurniture.blogspot.com

Views: 2